Sekupang, Batam inforakyat24jam com Kasus dugaan penyerobotan lahan milik seorang warga bernama Maria N. Lamanele di kawasan Sekupang, Batam, kian menyeruak ke permukaan setelah korban mengaku mendapatkan intimidasi dan ancaman pembunuhan dari seorang pria berinisial HN. Lebih miris lagi, aparat penegak hukum dinilai lalai dan bahkan terkesan tidak serius menangani laporan korban.
Kejadian bermula pada 15 Februari 2024, ketika Maria hendak melakukan kegiatan pembersihan (bersih-bersih) di lahan miliknya yang terdaftar secara resmi sebagai bagian dari Kelompok Tani Cinta Alam, kelompok yang telah berdiri sejak tahun 2010. Namun, kegiatan tersebut terganggu oleh kehadiran HN, seorang pria yang mengklaim sepihak bahwa lahan tersebut adalah miliknya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya mengklaim, HN bahkan datang dengan membawa sejumlah pemuda dan melontarkan ancaman serius kepada Maria. “Saya akan bunuh kamu!” ujar HN dengan nada tinggi kepada Maria, sebagaimana disampaikan oleh korban kepada media ini.
HN juga melarang keras agar tidak ada kegiatan apapun di lahan tersebut. Perkataan ini disampaikan langsung di depan para saksi, termasuk suami yang menyaksikan ketegangan tersebut.
Usai kejadian, Maria segera mendatangi Polsek Sekupang untuk melaporkan ancaman yang diterimanya. Namun, respons dari pihak kepolisian dinilai sangat mengecewakan. Maria menyatakan bahwa petugas yang menerima laporannya hanya menanggapi ringan, bahkan berkata:
> “Mama, ini kan baru ancaman. Belum ada pembunuhan dan belum ada barang bukti.”
Lebih dari itu, petugas Polsek menyarankan agar Maria menyelesaikan persoalan ini terlebih dahulu dengan RT, RW, dan lurah setempat — seolah-olah ancaman nyawa dan dugaan penyerobotan lahan hanyalah urusan administratif semata.
Padahal, berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, ancaman pembunuhan merupakan tindak pidana yang dapat diproses tanpa harus menunggu korban benar-benar terbunuh. Namun, respons aparat justru mencerminkan pembiaran dan pengabaian terhadap rasa keadilan masyarakat.
Mirisnya lagi, HN yang bertindak beringas dan terang-terangan mengintimidasi korban bukanlah bagian dari Kelompok Tani Cinta Alam — organisasi yang secara sah telah memiliki struktur dan legalitas sejak lebih dari satu dekade lalu. Lalu, atas dasar apa HN bisa begitu leluasa menguasai dan melarang pemilik sah untuk mengelola lahannya?
Kasus ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi aparat penegak hukum dan pemerintah setempat. Ketika laporan warga diabaikan, ketika ancaman nyawa dianggap enteng, dan ketika hukum seolah mandul di hadapan tindakan premanisme, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum akan runtuh.
Warga meminta agar kasus ini tidak hanya berhenti di meja Polsek Sekupang, tetapi mendapat perhatian dari kepolisian tingkat atas hingga lembaga pengawasan eksternal seperti Propam dan Komnas HAM, karena ini bukan semata soal sengketa lahan — ini soal hak hidup, keadilan, dan keberpihakan negara terhadap warganya.
Maria N. Lamanele, yang telah menjaga dan mengelola lahan itu lebih dari satu dekade, kini merasa ketakutan, kecewa, dan kehilangan rasa aman yang seharusnya dijamin oleh konstitusi.
“Lahan ini saya rawat sejak tahun 2010. Kami punya bukti keanggotaan kelompok tani. Tapi sekarang saya diusir, diancam, bahkan tak dilindungi. Apa hukum sudah mati untuk kami yang kecil?” pungkas Maria dengan suara gemetar.
Doc. Team inforakyat